Oke, karena adanya kesepakatan dengan Bella dan Eyen untuk mencoba
menulis cerita fiktif, aku akhirnya menulis cerita pendek ini. Penggabungan antara
kisah nyata tapi agak diselimurin dikit sih biar lebih asyik lagi. Selamat membaca!
"Kebahagiaan yang Lain"
Karya: Dea Anyudhita
Aku dulu pernah dikecewakan cinta. Bukan pernah lagi. Sering malah.
Sehingga aku meminta kepada Tuhan untuk mematikan rasaku.
Tapi, kemudian aku membatalkan permintaan itu saat aku mengenalmu.
Perkenalan kita bukan dari tidak sengaja, aku yang meminta dia mengenalkanmu
padaku. Lalu kita berkenalan.
"Hai, aku Dira." Kataku dengan tersenyum.
"Hai, aku Aldi." Jawabmu juga dengan tersenyum.
Sejak hari itu kita menjadi dekat. Seperti obat yang menyembuhkan luka, kehadiranmu
begitu berkesan. Membuatku melupakan rasa kecewa atas cinta dan membuatku belajar
untuk mencintai kembali.
Hari demi hari kita lewati dengan cerita sana sini, canda dan tawa, terkadang duka atau
lara pun kita hadapi bersama. Kamu selalu membuat aku menemui pengalaman baru saat
bersamamu. Seperti saat itu, kita menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengelilingi pusat
kota dengan berjalan kaki malam hari. Kamu bilang, kamu sedang bosan dan ingin
menghirup udara segar untuk menghilangkan penatmu. Tanpa berpikir panjang segera
ku-iyakan ajakanmu.
"Aku belum pernah lho jalan kaki begini malam-malam." Kataku menengok ke arahmu
sambil tersenyum.
"Kalau aku sudah pernah. Cuma yang belum pernah jalannya sama kamu." Kamu menanggapi
dengan senyum yang lebih manis daripada punyaku. Aku seperti ingin meleleh saat itu juga.
Malam itu kita habiskan dengan menikmati suasana malam dan bercerita, hingga tanpa
terasa kita telah berjalan sejauh dua kilometer.
Bukan hanya itu, ada saja hal-hal yang membuat kita pergi bersama, entah itu karena
kamu bosan dengan tugas-tugas kuliahmu atau aku yang bosan harus menghabiskan
waktu sendirian di hari liburku. Seperti lirik lagu Justin Bieber "If you need me I'll come
running from a thousand miles away. When you smile, I smile." Ya seperti lirik lagu itu,
saat kamu tersenyum, aku pun juga akan tersenyum. Kita seakan saling melengkapi.
Namun ternyata luka itu sedikit menggores hatiku lagi saat kutau dia yang
mengenalkan aku padamu adalah seseorang yang kamu cintai.
"Dir, aku rindu nih." Saat kamu membisikkan ini di telingaku, detak jantungku sudah
mulai tidak karuan.
"Hahaha rindu siapa, Al?" Tanyaku sedikit menggoda dan berbisik juga. Karena kita
sedang berada di dalam bioskop. Menuruti kamu menonton film yang kamu inginkan.
"Nadya. Kamu tau kan kalau aku suka dia?" Aku yang mendengar itu rasanya seperti
ditusuk dengan pisau tajam tepat di jantungku yang berdetak tidak karuan tadi.
Selanjutnya aku hanya bisa menanggapi dengan tersenyum. Jelas, senyum palsu. Apa
boleh buat jika aku harus menerima rasa kecewa ini lagi. Mungkin sudah saatnya untuk
aku menahan rasa ini. Untung saja belum kukatakan padamu, bagaimana perasaanku.
Mungkin aku yang salah menanggapi kedekatan kita selama ini. Bukan, kamu bukan
seperti yang mereka katakan. Kamu bukan pemberi harapan palsu. Aku pun juga
bukan penerima harapan palsu. Pada dasarnya semua itu tidak ada. Yang ada hanyalah
kesalahan persepsi. Aku mempersepsi bahwa kamu mempunyai perasaan yang sama
denganku. Tapi, kenyataannya adalah kamu hanya menganggapku sebagai teman biasa.
Sejak saat itu, aku mulai lihai menutupi perasaanku. Sesekali saat kamu bercerita tentang
dia, aku tidak bisa menahan air mataku jatuh, tentu saja tidak di depanmu.
Suatu hari kamu datang kerumahku untuk menceritakan bagaimana kesalnya kamu
dengan dia. Dia tidak terlalu menanggapimu. Kamu bilang dia jual mahal dan tidak peka.
Kamu ingin menyerah saat itu juga. Tetapi sebagai teman yang baik, sekali lagi, teman yang
baik, aku memberikanmu semangat untuk terus berjuang mendapatkannya.
Lalu seketika itu kamu berbicara begini kepadaku "Coba aja kalau aku berjuangnya
buat kamu, Dir. Pasti nggak akan sesusah ini."
Aku tidak tahu maksud dari kalimat itu apa. Tapi, aku menjawab "Mungkin sudah
langsung aku terima, Al."
"Hah? Maksudnya gimana, Dir?" Tanyamu segera setelah mendengar jawabanku.
Tanpa berpikir panjang aku segera berkata "Iya, kamu kira selama ini aku baik
dengan kamu itu karena apa kalau bukan aku menyimpan perasaan sama kamu.
Aku menyayangimu, Aldi."
Kamu yang tadinya duduk dengan tegap langsung melemaskan punggungmu dengan
menyenderkannya di badan kursi. Lalu memijat kepalamu pelan-pelan seperti melepas
pikiranmu yang tiba-tiba menjadi lelah itu.
Aku yang melihatmu begitu hanya bisa diam meremas-remas tanganku sendiri. Salah
tingkah dan merasa salah telah berbicara yang sebenarnya.
"Al, aku minta maaf karena tiba-tiba bilang begitu." Kataku kemudian.
"Seharusnya aku yang minta maaf, Dir. Maaf aku nggak pernah peka dengan perasaanmu.
Aku hanya sibuk dengan perasaanku ke dia. Bahkan kamu yang selalu ada disampingku
pun tidak aku hiraukan. Maaf, Dir." Jawabmu sambil mengambil tanganku yang sedari
tadi kuremas-remas itu untuk kamu genggam.
"Tidak apa-apa, Al. Aku sudah biasa dikecewakan. Sebenarnya aku sudah terima bahkan
aku sudah siap kalau nanti akhirnya kamu jadian dengan dia. Tapi aku malah mengacaukan
nya dengan mengatakan perasaanku."
"Aku hanya menganggapmu sahabat, Dir. Aku tidak bisa berbohong kalau aku masih tetap
ingin mencoba mengejar dia." Katamu sambil mengeratkan genggaman. "Mungkin kamu bisa
mencari orang lain yang lebih baik dari aku, Dir." Lanjutmu dengan tersenyum.
"Belum tentu orang yang datang adalah orang yang terbaik, Al. Begitu juga yang terpaksa
pergi juga bukan orang yang tidak baik." Jelasku sambil mengeluarkan senyum yang
sebenarnya adalah caraku untuk menahan air mata yang akan turun.
"Maksudnya?"
"Jadi, biarkan aku tetap menyimpan perasaan ini dan kamu jangan sekali pun menghindar
dari aku. Tetaplah seperti biasanya, Al. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keadaan
biasanya." Lalu air mataku mulai menetes dan tidak bisa ditahan lagi dengan senyuman itu.
"Aku menghargai perasaanmu, Dira. Sangat menghargai. Aku bukan seperti yang lain
yang dengan mudahnya mengambil sikap seribu langkah saat mengetahui sahabatnya me-
nyayanginya lebih sekedar sahabat. Aku tidak akan menjauhimu. Tenang saja." Katamu
tetap dengan senyuman yang selalu membuatku mencair seketika. Ditambah lagi kau
mengelus-elus kepalaku. Seketika itu hatiku langsung luluh.
"Tapi, Dir. Boleh juga aku meminta sesuatu?" Tanyamu kemudian.
"Apa Al?"
"Boleh kan kamu juga tetap selalu disampingku seperti biasanya dan lebih menjaga
perasaanmu dan menguatkan hatimu lagi saat ini? Aku pun sudah nyaman dengan keadaan ini
dan tidak ingin mengakhirinya begitu saja. Jangan pernah pergi ya Dira, sahabatku." Katamu
dengan mata mulai berkaca-kaca tapi aku tahu kamu tidak mungkin mengeluarkannya.
Dengan seketika aku mengusap air mataku "Siap bos!" Kataku sambil memberimu hormat
layaknya seorang bawahan kepada bosnya. Lalu kita berpelukan dan mengakhiri malam dengan
bercerita bagaimana bisa aku menyukaimu, bertahan dengan perasaan seperti itu, berpura-pura
walaupun rasa sakit tidak bisa tertutupi.
Ya, kita saat ini tetaplah kita yang seperti dulu. Hanya saja saat ini kamu lebih mengetahui
perasaanku. Seperti yang kamu inginkan, aku lebih menjaga perasaanku. Begitu juga kamu,
kamu selalu disampingku dan tidak pernah berpikir meninggalkanku. Kita tetap menjalankan
kebiasaan kita. Kita juga lebih terbuka.
Kejadian itu membuat aku sadar. Kini aku mengerti, walau sesering apapun aku dikecewakan
oleh cinta. Aku tidak pantas meminta kepada Tuhan untuk mematikan rasaku. Setidaknya dengan
rasa aku bisa merasakan cinta yang memberiku kebahagiaan dengan cara lain. Cinta kan bukan
hanya bagaimana kita mendapatkan seseorang yang kita inginkan. Tetapi bagaimana kita
menjaga perasaan itu untuk melihat orang yang kita cintai itu bahagia. Itulah yang aku lakukan
kepada Aldi, sahabatku, saat ini. Merelakan dia bahagia bersama orang lain.
Aku juga berhak mengakhiri ceritaku dengan bahagia. Mungkin saja saat ini aku masih diberi
kebahagiaan bersama sahabatku. Tetapi aku yakin suatu saat nanti akan ada seseorang yang
tepat dan di waktu yang tepat pula akan memberiku kebahagiaan dengan hati yang berisikan
CINTA.